Page :D

Kamis, 11 November 2010

Jangan Menyerah -> cerpen untuk lomba yg ga jadi krena kepanjangan


Jangan Menyerah

   Sejak dulu, aku mengenal kakakku yang super aktif. Pintar, cantik, aktif, periang, bertanggung-jawab, kreatif, benar-benar cewek sempurna deh! Kakakku selalu hadir di les-lesnya, meski les-nya seabrek-abrek. Eskul di sekolah nggak pernah sekalipun absent. Kakakku juga aktif di pramuka,tidak heran kalau sewaktu SD dia selalu menjadi ketua regu. Sesuai dengan orangnya yang kreatif dan bertanggung jawab. Beda jauh denganku.
   “Kak, kenapa sih kakak nggak pernah nggak masuk? Padahal kakak kan lesnya banyak banget! Senin-Rabu-Jum’at, sepulang sekolah LTQ sampai jam 5, kemudian bimbel sampai jam delapan. Selasa-Kamisnya, kakak liqo, Selasa-nya kakak ekskul komputer plus bimbel tambahan dari sekolah. Pulang liqo, kakak les biola sampai jam tujuh. Tuh kan, padet banget! Apa kakak nggak capek?” tanyaku saat itu. “Aku aja yang cuma les Bahasa Inggris sama Nurul Fikri aja kadang-kadang suka bolos.”
   Kakakku cuma cengar-cengir aja. Malah saat itu seperti tidak peduli. Masih sibuk merapikan buku-buku ceritanya yang segunung. Oh iya, kakakku itu paling suka membaca. Buku-buku bacaannya setumpuk seperti sampah-sampah di bantargebang. Bertebaran!
    “Kak? Jawab dong!”
    “Oh, iya dek. Jadi… prinsip kakak sih, selama kakak masih mampu, kakak mau belajar dan mencoba segala hal. Termasuk les biola itu.”
    “Tapi apa nggak terkesan maksain diri banget kak? Oh iya, aku belum tambahin kan? Hari Sab’tu les Bahasa Inggris dan Jarimatika!”
   Kakak tertawa.
   “Hahaha.. iya banyak banget ya ternyata?”
   GUBRAK! Kakak baru nyadar sekarang?
   “Ya iyalah, banyak banget kak!” komentarku kesal. “Nanti kalau kakak sakit gara-gara itu gimana?”
  Kakak tersenyum, menggeleng-geleng.
  “Insyaallah nggak, kalau tujuannya menuntut ilmu.”
  “Tapi kan…”
  Kakak tiba-tiba berdiri, kemudian membuka tirai jendela. Langsung terhampar di depan kami pemukiman padat penduduk. Kamarku dan kamar kakakku yang memang dekat dengan pemukiman yang padat. Tapi kami tinggal di apartemen.
  “Coba lihat deh dek, banyak anak-anak seusia kita  yang nggak bisa belajar, bersekolah, les. Jangan sampai kita, yang orang-tuanya masih mampu, menyia-nyiakan kesempatan pendidikan. Udah pernah nonton Laskar Pelangi kan? Tentang Lintang, anak nelayan cerdas yang terpaksa meninggalkan sekolah. Kakak sih, selama kakak dan bunda-ayah masih mampu, kakak ingin menuntut ilmu sebanyak-banyaknya.” Jelas kakak penuh semangat berapi-api. Aku tertegun. Aku belum pernah berpikir sampai seperti itu, meski jendela kamarku selalu menghadap pemukiman padat penduduk.
   Tapi itu beberapa hari yang lalu.
   Yang kulihat kali ini bukanlah kakakku yang cerdas dan periang, serta kata-kata bijak yang mengalir keluar dari mulutnya, melainkan sosok yang terbujur lemas di ranjang rumah sakit.
   Kakakku divonis terkena leukemia, beberapa hari yang lalu.
   Dan kini, kondisinya payah sekali.
  Aku masih ingat, ketika kakak baru divonis, wajahnya tampak tegar, meski sekarang, dia harus terbujur lemas di ranjang rumah sakit. Ah, kakakku memang tidak pernah berputus asa dan selalu berpikir positive. Benar-benar kakak yang sangat luar-biasa.
   “Fi-a…”
  “Ya Kak?” tanyaku kaget karena dipanggil secara tiba-tiba. Aku menatap kakakku yang masih terbujur lemas. Aku memegang tangannya erat.
  “ Kakak.. kakak ingin menjadi penulis, kakak ingin menjadi dokter. Kakak.. kakak ingin itu bisa terwujud. Tapi… manusia hanya bisa berharap dan berusaha, sisanya Allah yang menentukan.”
   Aku terdiam. Mengangguk pelan. Semuanya itu benar. Tiba-tiba mataku terasa menghangat.
    “Kakak ingin kamu yang masih mempunyai tubuh sehat, terus berusaha.”
    Aku tersentak. Kaget dengan ucapan kakakku. Kakakku menatapku lurus.
    “ Kakak tahu kamu punya potensi, Fia. Kakak tahu…” ujar kakakku lembut. “ Kakak tidak ingin kamu menyia-nyiakan itu. Tubuh kakak lemah, bahkan kakak terkena leukemia, tapi kakak tidak mau berputus asa. Kakak tetap ingin mengejar mimpi. Kamu pun harus begitu, Sayang…”     
   Aku mengangguk. Tergugu. Pelan-pelan air-mataku mulai berjatuhan, bahkan kedua orang-tuaku, yang duduk di dekat kami berdua.
   “Kakak juga tidak boleh menyerah…” isakku haru. Kakak tersenyum lemah. Aku mengartikan senyum itu sebagai janji. Ya, aku yakin kakakku tidak akan menyerah. Dia kukuh dan tegar. Bijaksana dan pantang menyerah. Dia bagai tembok besar yang sulit diterjang, bahkan oleh penyakitnya, leukemia..
      I love you, kak… cepatlah sembuh…
   
--*--

      Hari ini setelah sepulang-sekolah, aku langsung menuju rumah sakit. Kata-kata kakakku terus terngiang-iang di otakku. Pantang menyerah! Cobalah segala hal yang bersifat positif. Karena itu, sekarang aku tidak pernah bolos les. Nilai-nilai mata pelajaranku pun mulai merangkak naik. Aku tidak mau kalah dari kakak, yang selalu berusaha, bahkan ketika terkena penyakit yang mengharuskannya libur sekolah.
     Aku sampai di rumah sakit tepat jam empat sore. RS Mitra Keluarga. Cukup jauh juga, kalau mengingat aku harus dua kali naik angkot ke sini.
     Setelah Shalat Ashar di mushala rumah sakit, aku segera menuju kamar 205, kamar tempat kakakku dirawat. Aku membuka pintu.
    “Assalamualaikum, kak! Aku datang!” salamku riang. Kakak tersenyum menatapku, meski masih lemas.
   “Waalaikumsallam, dek.”
   “Bagaimana kemoterapi-nya kak?” tanyaku penasaran. Duduk bertumpu di samping kasur kakakku.
   “Yah, lemas, biasalah, dek,” jawab kakakku pelan. Aku diam lagi. Kakakku masih capek, padahal kemoterapi-nya sudah dilaksanakan dua jam yang lalu.
   Tiba-tiba aku sadar. Rambut kakakku yang ditutupi jilbab, rontok….
   “Kak.. rambut kakak?”
   “Yah, beginilah efek pengobatan, dek. Rambut rontok, perut mual,” cerita kakakku sedih. Meski sedih, tidak ada nada putus asa dikalimatnya. Aku memeluk kakakku erat. Aku paham perasaan kakakku. Kakak tersenyum melihatku.
   Aku melepas pelukanku. Kemudian membuka tas sekolahku. Mengambil buku Pink Berry Club; Pelangi Impian, kemudian membacanya. Aku ingin membiarkan kakakku beristirahat dulu.
   “Itu buku apa dek?”
   “Eh? Ini…” aku membalik cover-nya sebentar. “Pelang Impian, PBC. Berkisah tentang seorang anak bernama Fikri yang berasal dari desa terpencil yang berusaha meraih impiannya bersekolah tinggi dan menjadi orang sukses, meski harus melalui jalan yang panjang dan halangan yang berat. Dia tidak pernah berputus asa, sampai akhirnya, dia berhasil meraih impiannya. Gitu kak..” ceritaku singkat. Kakak mengangguk-angguk.
   “Rasanya Fikri mirip dengan kakak, apakah kakak bisa meraih impian kakak nanti?” tanya kakak sambil tertawa kecil. Aku tersenyum pasti, mengangguk.
    “Kakak pasti bisa. Aku yakin.”
    “Makasih dek.”
    Aku mengangguk. “Sama-sama.”
    “Oh iya, bagaimana sekolah?”
    Aku nyengir. Meski sakit kakakku tetap perhatian.
    “Tadi ada ulangan matematika, bangun datar.”
    “ Oh ya? Terus?” tanya kakakku penasaran.
    “Aku dapat 95 kak…” lanjutku bangga. Kakak tersenyum gembira.
   “Selamat ya dek, kamu sudah berubah sekarang, biasanya maksimal dapat 8.”
   Aku cemberut. Jadi teringat dulu-dulu. Disuruh belajar saja maleeesnya bukan main. Pinginnya main komputer terus. Sekarang? 180° berubah dong. Malah pinginnya belajar terus. Belajar matematika selesai, gantian Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bosan, ganti IPS. Dst. Dan ini semua gara-gara kakak. Aku memeluk kakakku lagi, bangga. Kakak nyengir,. Ah, akhirnya aku bisa melihat kakakku riang kembali.
       Tiba-tiba kakak menunduk ke arah kolong tempat tidur, kemudian mengeluarkan sebuah tas. Dibukanya tas itu pelan, kemudian mengeluarkan sebuah buku bersampul hijau dengan tulisan besar-besar; KIMIA.
   “Kakak ada tes kimia minggu depan. Siapa tahu kalau kakak sudah sembuh, kakak bisa ikut ujian itu,” kata kakakku optimis. Aku tersenyum, mengangguk. Amiin…
   Oh iya, aku lupa bilang, kakakku dan aku itu berbeda lima tahun. Aku sudah kelas 6, berarti kakakku sudah kelas 1 SMA.
   Sambil menemani kakakku menghafal, aku curi-curi baca PBC-ku kembali. Aih, sudah hampir selesai. Seru juga ternyata!
   Kreek… tiba-tiba pintu kamar kakakku terbuka.
   “Adila Salsa Raihana, jam berkunjung anda sudah selesai, sekarang waktu untuk Rania Muthia As-Shallma beristirahat!”
   Ooh.. ternyata itu suster rumah sakit. Aku segera merapikan tasku, kemudian melambaikan tangan ke arah kakakku.
   “Dah, kak. See you tomorrow..”
  “ Iya dek. Bye!”
  “Assalamualaikum!”
  “Waalaikumsallam…”
  Krek, aku menutup pintu kamar kakakku. Kemudian aku melihat jam yang berada di lorong rumah sakit. Jam setengah enam. Wah…aku sampai rumah jam berapa nih??

--*--

    Hari ini tanggal 20 Mei 2010
    Berarti hari ini adalah hari…
     “KAK RANIA ULANG-TAHUN!”
     “Bunda, hari kakak ulang-tahun lo! Kasih apa nih?!” tanyaku panik. Maklumlah, aku sama-sekali lupa dengan ulang-tahun kakakku. Kelas enam memang benar-benar sibuk (tepatnya, aku yang suka sok sibuk)! Sampai lupa tanggal lahir kakak sendiri.
     “Ya… kakak kira-kira suka apa. Buku?”
     Aku menggeleng. Aku ingin memberikan hadiah yang lain. Buku yang disukai kakak mahal-mahal, sedangkan aku lagi bokek.
    “Aha! Gimana kalau buku diary? Tapi buku diary yang berbeda, yang menarik. Aku mau cari di idolmart ah!” cetusku gembira, kemudian cepat-cepat mengambil sepatu roda, jaket, dompet, dan jilbabku. Untung saja hari ini libur. Wuuush! Aku langsung ber-wuuush dengan sepatu roda.
    Idolmart berada dekat dengan rumahku. Hanya berbeda tiga blog dengan rumah! Deket banget kan?
   Ting-nong, bunyi pintu Idolmart ketika dibuka. Aku menuju arah buku-buku. Hmm… banyak buku diary dan buku tulis yang bagus. Ada buku diary yang bergambar manga chibi yang imut, dan mempunyai kunci-gembok. Sisi-sisinya dihiasi glitter dan hiasan mengkilat jika di dalam tempat gelap. Kunci buku diary-nya imut, berbentuk boneka manga-chibi juga. Hmm.. apa ini saja ya?
   Aku melihat harganya. Hiaa, Rp.25.000,-. Duitku cuma Rp20.000,-!
    Jadi terpaksa aku melihat-lihat buku diary yang lain. Ya ampun, yang lumayan bagus harganya dua puluh ribu ke atas! Terpaksa aku muter-muter satu idolmart, sebelum menemukan hadiah yang unik. Bukan buku diary, tapi seperti pajangan coca-cola-lampu. Di dalamnya terdapat air yang mirip air coca-cola. Dapat bersinar seperti lampu-kamar. Ada mascot coca-cola kecil yang mempunyai tangan-kaki, dapat bergerak ke segala arah. Harganya? Pas 20.000,-. Bagus pula! Oke deh, klop. Ini saja.
    “Mbak, kalau dibungkuskan sekalian, jadinya berapa?” tanyaku ketika akan membayar pada mbak kasir. Mbak kasir menunjuk kertas-kertas kadonya.
    “Sesuai pilihannya. Yang ini seribu rupiah, ini dua ribu rupiah, karena coraknya lebih bagus.”
    Aku melihat-lihat sisa uangku. Masih ada lima ribu rupiah.
    “Ya sudah, saya sekalian minta dibungkuskan ya mbak. Coraknya yang itu saja, harganya dua ribu rupiah ya?” tanyaku sambil menunjuk salah-satu corak kertas kado. Mbak itu mengangguk, kemudian dengan cekatan membungkus kado itu. Wah, hasilnya bagus juga.
     “Terimakasih ya mbak. Jadi.. totalnya Rp22.000,-?”
     “Iya.”
     Aku menyerahkan uangnya. Kembalian tiga ribu rupiah. Kemudian aku segera pulang sambil menenteng kado. Dalam hati aku berpikir.. ah, aku kasih kadonya besok aja deh…
  
--*--
     Hari ini hari Minggu. Hari yang paaaling disukai oleh seluruh pelajar di Indonesia. Kalau ada yang nggak suka? Orang aneh.
     Dan karena hari ini Hari Minggu, aku bisa puas main komputer dan bangun siang! Hahahaha…. Memang sih, akhir-akhir ini aku sudah ‘agak’ berubah. Tapi kebiasaan hari Minggu? Suuusaaaahh banget buat diubah. Hehehe…
     KRRIIING! Gubrak! Jam setengah enam pagi! Tidaaak.. aku telat Sholat Shubuh!
     Aku cepat-cepat berwudhu, kemudian Sholat Shubuh di kamar. Dan… hmm.. pinginnya sih tidur lagi, tapi entah kenapa aku lagi nggak ada mood.
       Karena bosan nggak ada kerjaan, aku memilih membuka-buka foto album milikku. Ada foto aku dan teman-temanku ketika EFT (Education Field Trip, acara jalan-jalan edukasi, intinya acara jalan-jalan untuk belajar), AMT, ketika di rumahku (foto lewat HP), foto aku dan kakakku yang sedang ‘gila’, dan foto aku, kakakku, dan Raihana, adikku satu-satunya, sedang joget-joget nggak karuan. Hahaha.. kocak banget. Aku ingat foto ini dipotret Azzam, sepupuku dari Jakarta.
     Saat melihat foto itu, dan menatap wajah kakakku, aku merasa ada perasaan aneh. Seperti, feeling, atau.. apa ya? Atau ini hanya perasaan? Kalau bahasanya… perasaan buruk.
      Aku resah, kemudian melihat foto-foto aku dan kakakku yang lain. Seperti ada…. Aku seperti melihat bayangan aneh di foto kakakku, dan feeling ini… tidak hilang-hilang.
      PRAAAK!
      Ya Allah! Suara apa itu? Aku segera berdiri, kemudian keluar dari kamar. Bunda membungkuk, tampak sedang memunguti sesuatu. Aku segera mendekati. Penasaran…
      “Ma, ada a..”
      Aku ternganga. Pigura foto yang terjatuh. Pigura foto ketika aku dan satu keluargaku rekreasi ke Anyer. Dan foto itu…
     Retak tepat di wajah kakak     
     “Ma.. mama.. apa ini.. jangan-jangan…”
     Wajah mama tampak pucat. Dia berkali-kali menggeleng-geleng gelisah, sambil terus memunguti pecahan kaca. Aku masih tidak percaya, gemetar. Jangan-jangan, pertanda-pertanda aneh ini…
      “MA! Kita harus ke rumah sakit ma! Sekarang juga!!” teriakku panik. Mama masih mematung, sebelum cepat-cepat berlari ke kamar papa. Aku merasa tidak sadar apa-apa, yang kuingat, aku membangunkan Raihana, menyuruh Mbok Iyem menjaga rumah dan merapikan pecahan kaca, tiga puluh menit kemudian, kami berangkat menuju RS. Mitra Keluarga. Aku seperti melayang. Mengingat kejadian di kamar. Ya Allah.. jangan sampai terjadi apa-apa dengan kakak. Dia orang baik… kami semua sayang dengannya…
     Jam tujuh pagi tepat aku dan keluargaku sudah sampai di RS. Mitra Keluarga. Perut keroncongan yang belum diisi sarapan berbunyi. Tapi aku, bunda dan ayah mengabaikannya, termasuk Raihana yang biasanya paling doyan makan.
     Ting! Lift berhenti di lantai dua, kemudian kami berjalan cepat menuju kamar 205. Aku merasakan firasat itu makin kuat. Dan… kreek..
    Papaku membuka pintu kamar, kakak tidak ada di sana
    “Pa… kakak kemana, pa?!!!” tanya mamaku histeris. Papa juga bingung, kalut. Tiba-tiba lewat seorang suster di sampingku.
   “Permisi, kalian mencari anak yang memasuki kamar 205 ini ya?” tanya suster itu. Aku mengangkat alis, bingung. Bagaimana dia bisa tahu? Ah.. mungkin karena melihat raut wajah mama. Papa mengangguk.
    “Iya, sus, kira-kira dia dipindahkan kemana ya?”
   “Mm.. saya kurang tahu juga sih. Sepengatahuan saya, tadi malam sewaktu saya jaga malam, sekitar jam setengah 5.. eh, itu mah sudah pagi ya? Ada dua dokter dan empat suster menggiring seorang anak keluar dari kamar 205 menuju ruang UGD.”
   BRUK! Tiba-tiba mama lemas. Aku juga lemas. Muka papa pucat, dan raut wajah Raihana.. ah, sulit dikatakan. Campuran; takut, kaget, lemas, shok, dsb.
  “Kak… nggak mungkin Kak Rania masuk UGD kan?” tanya Raihana lirih. Aku tidak menjawab. Papa dan mama masih sangat shok, sebelum berjalan menuju ruang informasi. Papa yang bertanya;
  “Permisi, mbak. Apa anak dari ruang 205 dipindahkan ke UGD tadi malam?”
   Mbak-mbak ruang informasi itu mengecek datanya sebentar, sebelum kemudian menatap papa kembali.
   “Mm.. iya pak. Anak bapak yang bernama Rania Muthia As-Shallma dipindahkan ke ruang UGD tadi malam…”
   BRUK! Rasanya seperti dijatuhkan dari lantai 20. Sakit, lemas, tidak percaya. Dan tiba-tiba rasanya aku mempunyai kekuatan untuk berlari, menjerit.
     “KAKAK!!”
     Aku berbelok dari satu lorong ke satu lorong. Aneh, aku seperti tahu dimana letak ruang UGD-nya. SRET! Tiba-tiba aku berhenti di sebuah ruang besar bertuliskan ‘UGD – Unit Gawat Darurat’. Aku membuka pintunya. Dan aku.. melihat seseorang terkapar, dengan wajah yang sangat aku kenali..
    “Ka… ka. Kakak…” lirihku hancur. Dokter-dokter terkaget melihatku, dan kaget lagi melihat mama-papa, dan Raihana yang berlari menyusulku, dan mereka sekarang berada di sampingku. Tubuh mama bergetar, tapi dia berusaha menahan tangisnya. Raihana menangis tersedu-sedu. Papa memeluk mama, aku memeluk Raihana, meski mataku… hatiku… melihat kakak…
    “Permisi, biar saya jelaskan semuanya…” tiba-tiba dokter yang paling senior mendekatiku, mama-papa, dan Raihana. Mengajak kami keluar, dan duduk di sebuah kursi panjang.
    “Ibu.. maafkan rumah sakit yang belum memberitahu ibu, karena situasi yang amat gawat. Anak ibu dropp tiba-tiba malam tadi, jam setengah lima, dan sampai-sekarang anak ibu masih koma. Ibu dan keluarga harap bersabar, dan bersiap dengan segala situasi paling buruk yang akan diterima nanti…”
    Situasi paling buruk? Ya Allah…
    “ Nak, tetaplah berdoa untuk kakakmu… karena kakakmu sedang berjuang…” lirih dokter itu sambil menatapku, tersenyum. Tanpa aku sadari, satu bulir air mata sudah jatuh di pipiku. Aku berusaha mengangguk, tapi leherku kaku. 
    “Aku.. aku ingin melihat kakak…” pintaku tersedu. Dokter itu menghembuskan nafas, kemudian mengangguk, membolehkan. Aku dan keluargaku berjalan ke dalam UGD. Kakakku, kakakku yang dikelilingi infus dan terkapar di tempat-tidur UGD. Ya Allah… kakakku yang amat tegar sekarang terlihat rapuh, dan wajahnya.. amat tenang.
     Aku mendekati kakakku, memegang tangannya,
      “Kak…” aku berjongkok di samping tempat tidurnya. Suster-suster berjalan agak ke pinggir, untuk memberikan ruang, meski tetap terlihat siaga. Mama, papa, dan Raihana agak di belakangku, mereka tahu, aku ingin bicara berdua dengan kakak, meski entah kakakku akan mendengar atau tidak di alamnya…
      “Kakak.. kakak pernah memberitahukan ku kan.. supaya tidak pernah menyerah, tegar, selalu mencoba hal-hal yang positive…” aku mengusap mataku, lagi. “Kakak selalu mengajariku untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan pendidikan, kakak selalu berjuang, bahkan ketika kakak sakit… dan.. kak….. kakak tahu.. nilai-nilai di sekolahku meningkat sejak kakak memberitahuku itu… karena kakak…” kini aku sempurna menangis. Tersendat-sendat. “Kakak…. Kakak selalu mengingatkanku untuk tidak pantang menyerah, dan aku berusaha untuk menuruti perintah kakak. Dan sekarang… giliran kakak…
           “Kakak harus sembuh… kakak harus bisa ceria seperti dulu. Kakak tahu, aku tetap mengagumi kakak meski kakak sudah terkena leukemia.. Kak.. kakak harus berjuang… kakak harus sembuh kembali… Hikss…” aku mengusap air-mataku yang sudah membasahi kasur.
           “Kak.. kakak tahu lagu D’masiv nggak? Yang judulnya jangan menyerah.. lagu itu populer di sekolahku kak… kakak.. akan kunyanyikan lagu itu untuk kakak…”

           Aku menghembuskan nafas sebentar, mengusap air-mataku kembali, dan mengatur suara agar tidak cempreng dan tersendat-sendat. Aku ingin, meski aku tidak tahu apakah kakak mendengarnya, mempersembahkan yang terbaik untuk kakakku…
D’Masiv… Jangan Menyerah
          “tak ada manusia
          yang terlahir sempurna
          jangan kau sesali
          segala yang telah terjadi
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
          kita pasti pernah
          dapatkan cobaan yang berat
          seakan hidup ini
          tak ada artinya lagi
reff1:
syukuri apa yang ada
hidup adalah anugerah
tetap jalani hidup ini
melakukan yang terbaik
tak ada manusia
yang terlahir sempurna
jangan kau sesali
segala yang telah terjadi
reff2:
Tuhan pasti kan menunjukkan
kebesaran dan kuasanya
bagi hambanya yang sabar
dan tak kenal putus asa”
         Selesai menyanyikan lagu itu, aku menatap kakakku sebentar. Dan… Ya Allah.. ini benar-benar keajaibanmu! Kakakku tersenyum, dan keluar air mata yang membasahi pipinya. Ya Allah… kakakku mendengar semuanya, di alam-bawah sadarnya!
         “Kak… kakak dengar semuanya??!” tanyaku gembira, dadaku hampir meledak saking senangnya. Keluargaku mendekat, dokter-dokter ternganga, mengusap wajah mereka, kaget, terpana.
         Dan kejaiban itu belum selesai.
         Tiba-tiba mata kakakku berkerjap-kerjap, dan…. aku hampir pingsan saking senangnya… kakakku bangun! Kakakku sadar!
        “KAK! Kakak sudah sadar???!” tanyaku gembira. Mencubit pipiku sendiri. Keluargaku meringsek ke depan. Raihana menjerit senang, berusaha memeluk kakakku, kalau tidak ingat kakakku dalam keadaan lemah. Mama berkali-kali mengucapkan hamdallah, sedangkan papa menghembuskan nafas lega. Dokter-dokter saling berpandangan. Bingung. Hanya karena lagu… dan ucapan kasih-sayang adiknya… anak itu bisa terbangun?
       Kakak menatapku, tersenyum. Mengusap pipiku dan Raihana.
       “Kalian berdua, terimakasih. Mama, papa, terimakasih atas segalanya. Fia… terimakasih atas lagu dan kasih sayangmu…. Maafkan segala salah kakak. Dek Raihana, maafkan kakak juga kalau kakak ada salah denganmu. Mama.. papa.. terimakasih sudah mau membesarkanku… aku minta maaf.. kalau aku ada salah… tolong titip maaf dan terimakasihku untuk semua teman-temanku…”
      Kami berempat berpandang-pandangan. Bingung.
      “Kak??”
     “ Ah… mama.. lihat! Bidadari itu sudah melambai ke arahku… aku harus kembali… ke tempat itu..”
    “KAK? Kamu mau kemana?!”
    “Maafkan semua salahku, ma, pa, Fia, Dek Raihana… I love you…”
    Dan mata itu kembali tertutup.
    Dokter-dokter kembali mendekat. Mengecek jantung, nadi..
    Tapi kakakku… sudah tidak ada.

--*--
      Minggu, 21 November 2010
      Pukul 12.00 WIB

      Suasana rumah penuh dengan pelayat-pelayat yang berdatangan. Mamaku tersendat-sendat menceritakan semuanya, sambil sibuk ditenangi oleh tanteku dan nenekku. Raihana mengunci diri di kamar, perlahan-lahan terdengar suara tangisannya. Ayah menyambut pelayat yang berdatangan dengan wajah muram. Bik Iyem berusaha untuk konsentrasi memasak, tapi dia berkali-kali melihat ke arah kakakku yang terbujur kaku di kamarnya yang dibuka untuk pelayat-pelayat. Kakakku ditaruh sementara di kamarnya sebelum menuju liang-lahat. Ah, kakakku itu.. sudah pergi…
     Aku sendiri sama dengan Raihana. Pulang dari rumah sakit, aku menangis hebat. Makan pagi tidak disentuh. Apalagi saat melihat mayat kakakku, rasanya aku ingin pingsan. Ya Allah… aku tidak kuat. Kenapa harus kakakku yang pergi? Kenapa tidak… aku saja misalnya?! Kenapa harus kakakku yang paling pertama pergi? Kenapa harus dia?!!
       “Fia…”
      Aku berpaling. Tante Salwa, tanteku yang paling dekat. Aku memalingkan muka, aku tidak ingin bertemu siapa-siapa.
      “Fia, tante tahu, berat sekali pasti kehilangan kakakmu… kakak yang paling baik hati di dunia.”
      Aku tidak merespon, meski dalam hati membenarkan. Kakakku memang keterlaluan baiknya.
      “Tapi bukan berarti kau harus seharian mengunci diri di kamar, Fia..”
      Seketika aku menengok, BERANG!                               
      “Tante belum pernah kehilangan kakak tante, tante nggak tahu perasaanku!!!!” jeritku marah. Tante terdiam, aku memalingkan muka lagi.
     “Tante tahu… karena tante… juga pernah kehilangan orang yang paling berharga untuk tante ketika seumuran dirimu…”
       Aku berpaling ke arah tante. Terheran, menunjukkan raut muka;
S-i-a-p-a?
       Tante tersenyum getir.
        “Sahabat tante sejak TK, yang selisih umur setahun. Tante dan dia erat sekali persahabatannya, hingga bahkan, orang tua tante—kakek dan nenekmu—menganggap sahabat tante itu sebagai kakak kandung tante, saking eratnya persahabatan itu. Sahabat tante itu selalu membantu dan menyemangati tante… tante bahagia sekali bersahabat dengannya.
        “Tapi pada suatu hari… malapetaka itu datang..
        “Sahabat tante divonis terkena kanker otak ganas, dan hanya dapat bertahan beberapa hari…
         “Mirisnya, sahabat tante itu tidak mengatakan atau memberitahu apapun tentang penyakitnya kepada tante… dia tetap datang ke rumah tante untuk bermain, belajar bersama, bahkan ketika pertandingan terakhirnya!
          “Sahabat tante itu menemui ajalnya ketika memaksakan diri mengikuti pertandingan itu… regu sekolah kami menang, tapi tiba-tiba dia ambruk, dan dilarikan ke rumah sakit. Barulah tante tahu, ternyata sahabat tante itu menderita kanker otak-ganas, dan hanya bisa bertahan beberapa hari sebelum meninggal. Dan saat-saat sakaratul mautnya, sahabat tante itu berkata dengan terbata-bata bahwa dia tidak ingin merepotkan tante, meski tante tahu, seumur hidupnya dia tidak pernah merepotkan orang lain…
        “Pertama-tama tante marah, sedih, campur aduk. Tapi… setelah beberapa hari, tante sadar. Dia sudah berada di tempat terbaiknya… tempat yang tidak akan membuatnya menderita terkena kanker otak ganas. Yang akan membuatnya bahagia selamanya…
        “Sayang… kakakmu untukmu, dan sahabat tante untuk tante, sama pentingnya untuk kita berdua.. mereka menempati ruang khusus di hati. erat memang melepaskan, tapi apakah kita harus bersedih ketika mereka justru akan mengalami kebahagiaan sejati??
       “Sayang… kakakmu adalah orang yang sangat baik, dan sifat-sifatnya mengingatkan tante akan sahabat tante itu…tante yakin Allah telah menyiapkan tempat terbaik untuknya. Dan.. Allah memanggil kakakmu karena Allah sangat-amat sayang terhadap kakakmu, dan tidak ingin kakakmu menderita lagi… kau mengerti, Fia?’
       Aku terpana, mendengar nasehat tante yang luar biasa panjang, tepatnya cerita tanteku. Aku menghapus air-mataku. Ya, aku baru sadar, sedih memang wajar, amat wajar, apalagi jika itu orang yang amat penting untuk kita… tapi sesayang apapun kita, kita pasti harus melaksanakan perpisahan, dan kita semua harus siap untuk itu. Kita tidak boleh bersedih, ketika orang itu akan memasuki tempat terbaiknya… justru kita harus mendoakannya, dan mendoakan diri kita supaya dapat masuk ke tempat terbaik itu… dan bisa bersama-sama kembali…
       Aku memeluk tanteku.
       “Terimakasih, tante…” ucapku lirih. Tante mengangguk.
       “Sekarang, pergi ke kamar mandi dan cuci mukamu, Fi. Matamu benar-benar merah dan masih ada kotoran matanya tuh! Hehehe…”
      Aku tersenyum sedikit.
     “Oke. Tapi kayaknya Raihana juga perlu nasehat tante.”
     Tante balas tersenyum, kemudian keluar kamar.
     “Oke deh, tapi cepat cuci muka, kemudian makan ya! Kata mamamu, kamu belum makan pagi, apalagi sekarang sudah jam 12! Jangan lupa sekalian mandi!”
     Aku geleng-geleng kepala, kemudian berlagak ‘siap gerak’, dan ngacir ke kamar mandi. Hehehe… Tante Salwa itu ternyata cerewet juga ya!

--*--

     Jam 13.00 siang
     Jl. Pedepokan 5 No. 66, Jakarta Timur
     ~My House~

     Aku dan keluargaku, serta seluruh pelayat sudah siap untuk sesi pemakaman kakakku. Aku memakai jilbab putih dan baju gamis biru. Mama dan papaku tidak mengenakan baju hitam, karena kata mereka itu hanya adapt-istiadat orang Barat, bukan adat orang Islam. Raihana sendiri memakai baju lengan panjang hijau dan jilbab crème. Kami semua berangkat dengan mobil menuju tempat peristirahatan terakhir kakakku, di TPU Pondokrangon.
      Perjalanan memakan waktu setengah jam. Aku,keluargaku, dan mobil pelayat-pelayat lain berhenti di parkiran TPU, dan berjalan menuju tenda besar yang dipasang di tengah-tengah kuburan. Di sanalah liang-lahat kakakku sudah dipersiapkan.
      “La illa ha illallah… La illa ha illallah… La illa ha illallah!”
      Perlahan-lahan mayat kakakku diturunkan ke dalam liang-lahat. Aku tidak kuasa melihatnya, apalagi ketika melihat tubuh kakakku dikubur oleh tanah. Ya Allah… miriiis sekali melihatnya. Ingin rasanya menggali kuburan itu dan mengeluarkan tubuh kakakku, tapi itu tak mungkin.
     Aku mengusap nisan kuburan kakakku, menangis, tersedu. Mamaku memelukku. Tante Salwa mengelus kepalaku. Menatapku, yang berusaha membuatku tabah. Di nisan itu tertulis;

     Rania Muthia As-Shallma
     Lahir: 20 November 1995
     Wafat: 21 November 2010
     Innalillahi wa innalillahi rojiun…

     Aku tersedan, menangis. Ranting-ranting bunga kamboja bergesekan, hembusan angin seolah menghibur seluruh pelayat, awan mendung menghiasi langit, seakan turut bersedih.
    Goodbye, my lovely sister…
    Gooodbye.. I - Love- You…

--*--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar