Jangan Menyerah
Sejak dulu, aku mengenal kakakku yang super
aktif. Pintar, cantik, aktif, periang, bertanggung-jawab, kreatif, benar-benar
cewek sempurna deh! Kakakku selalu hadir di les-lesnya, meski les-nya seabrek-abrek.
Eskul di sekolah nggak pernah sekalipun absent. Kakakku juga aktif di pramuka,tidak
heran kalau sewaktu SD dia selalu menjadi ketua regu. Sesuai dengan orangnya
yang kreatif dan bertanggung jawab. Beda jauh denganku.
“Kak, kenapa sih kakak nggak pernah nggak
masuk? Padahal kakak kan
lesnya banyak banget! Senin-Rabu-Jum’at, sepulang sekolah LTQ sampai jam 5,
kemudian bimbel sampai jam delapan. Selasa-Kamisnya, kakak liqo, Selasa-nya
kakak ekskul komputer plus bimbel tambahan dari sekolah. Pulang liqo, kakak les
biola sampai jam tujuh. Tuh kan,
padet banget! Apa kakak nggak capek?” tanyaku saat itu. “Aku aja yang cuma les
Bahasa Inggris sama Nurul Fikri aja kadang-kadang suka bolos.”
Kakakku cuma cengar-cengir aja. Malah saat itu
seperti tidak peduli. Masih sibuk merapikan buku-buku ceritanya yang segunung.
Oh iya, kakakku itu paling suka membaca. Buku-buku bacaannya setumpuk seperti
sampah-sampah di bantargebang. Bertebaran!
“Kak? Jawab dong!”
“Oh, iya dek. Jadi… prinsip kakak sih,
selama kakak masih mampu, kakak mau belajar dan mencoba segala hal. Termasuk
les biola itu.”
“Tapi apa nggak terkesan maksain diri
banget kak? Oh iya, aku belum tambahin kan?
Hari Sab’tu les Bahasa Inggris dan Jarimatika!”
Kakak tertawa.
“Hahaha.. iya banyak banget ya ternyata?”
GUBRAK! Kakak baru nyadar sekarang?
“Ya
iyalah, banyak banget kak!” komentarku kesal. “Nanti kalau kakak sakit
gara-gara itu gimana?”
Kakak tersenyum, menggeleng-geleng.
“Insyaallah nggak, kalau tujuannya menuntut
ilmu.”
“Tapi kan…”
Kakak tiba-tiba berdiri, kemudian membuka
tirai jendela. Langsung terhampar di depan kami pemukiman padat penduduk.
Kamarku dan kamar kakakku yang memang dekat dengan pemukiman yang padat. Tapi
kami tinggal di apartemen.
“Coba lihat deh dek, banyak anak-anak seusia
kita yang nggak bisa belajar,
bersekolah, les. Jangan sampai kita, yang orang-tuanya masih mampu,
menyia-nyiakan kesempatan pendidikan. Udah pernah nonton Laskar Pelangi kan? Tentang Lintang,
anak nelayan cerdas yang terpaksa meninggalkan sekolah. Kakak sih, selama kakak
dan bunda-ayah masih mampu, kakak ingin menuntut ilmu sebanyak-banyaknya.”
Jelas kakak penuh semangat berapi-api. Aku tertegun. Aku belum pernah berpikir
sampai seperti itu, meski jendela kamarku selalu menghadap pemukiman padat
penduduk.
Tapi
itu beberapa hari yang lalu.
Yang kulihat kali ini bukanlah kakakku yang
cerdas dan periang, serta kata-kata bijak yang mengalir keluar dari mulutnya,
melainkan sosok yang terbujur lemas di ranjang rumah sakit.
Kakakku divonis terkena leukemia, beberapa
hari yang lalu.
Dan
kini, kondisinya payah sekali.
Aku masih ingat, ketika kakak baru divonis,
wajahnya tampak tegar, meski sekarang, dia harus terbujur lemas di ranjang
rumah sakit. Ah, kakakku memang tidak pernah berputus asa dan selalu berpikir
positive. Benar-benar kakak yang sangat luar-biasa.
“Fi-a…”
“Ya Kak?” tanyaku kaget karena dipanggil
secara tiba-tiba. Aku menatap kakakku yang masih terbujur lemas. Aku memegang
tangannya erat.
“ Kakak.. kakak ingin menjadi penulis, kakak
ingin menjadi dokter. Kakak.. kakak ingin itu bisa terwujud. Tapi… manusia
hanya bisa berharap dan berusaha, sisanya Allah yang menentukan.”
Aku terdiam. Mengangguk pelan. Semuanya itu
benar. Tiba-tiba mataku terasa menghangat.
“Kakak ingin kamu yang masih mempunyai
tubuh sehat, terus berusaha.”
Aku tersentak. Kaget dengan ucapan kakakku.
Kakakku menatapku lurus.
“ Kakak tahu kamu punya potensi, Fia. Kakak
tahu…” ujar kakakku lembut. “ Kakak tidak ingin kamu menyia-nyiakan itu. Tubuh
kakak lemah, bahkan kakak terkena leukemia, tapi kakak tidak mau berputus asa.
Kakak tetap ingin mengejar mimpi. Kamu pun harus begitu, Sayang…”
Aku mengangguk. Tergugu. Pelan-pelan
air-mataku mulai berjatuhan, bahkan kedua orang-tuaku, yang duduk di dekat kami
berdua.
“Kakak juga tidak boleh menyerah…” isakku
haru. Kakak tersenyum lemah. Aku mengartikan senyum itu sebagai janji. Ya, aku
yakin kakakku tidak akan menyerah. Dia kukuh dan tegar. Bijaksana dan pantang
menyerah. Dia bagai tembok besar yang sulit diterjang, bahkan oleh penyakitnya,
leukemia..
I
love you, kak… cepatlah sembuh…
--*--
Hari ini setelah sepulang-sekolah, aku
langsung menuju rumah sakit. Kata-kata kakakku terus terngiang-iang di otakku.
Pantang menyerah! Cobalah segala hal yang bersifat positif. Karena itu,
sekarang aku tidak pernah bolos les. Nilai-nilai mata pelajaranku pun mulai
merangkak naik. Aku tidak mau kalah dari kakak, yang selalu berusaha, bahkan
ketika terkena penyakit yang mengharuskannya libur sekolah.
Aku
sampai di rumah sakit tepat jam empat sore. RS Mitra Keluarga. Cukup jauh juga,
kalau mengingat aku harus dua kali naik angkot ke sini.
Setelah Shalat Ashar di mushala rumah
sakit, aku segera menuju kamar 205, kamar tempat kakakku dirawat. Aku membuka
pintu.
“Assalamualaikum, kak! Aku datang!” salamku
riang. Kakak tersenyum menatapku, meski masih lemas.
“Waalaikumsallam, dek.”
“Bagaimana kemoterapi-nya kak?” tanyaku
penasaran. Duduk bertumpu di samping kasur kakakku.
“Yah, lemas, biasalah, dek,” jawab kakakku
pelan. Aku diam lagi. Kakakku masih capek, padahal kemoterapi-nya sudah
dilaksanakan dua jam yang lalu.
Tiba-tiba aku sadar. Rambut kakakku yang
ditutupi jilbab, rontok….
“Kak.. rambut kakak?”
“Yah, beginilah efek pengobatan, dek. Rambut
rontok, perut mual,” cerita kakakku sedih. Meski sedih, tidak ada nada putus
asa dikalimatnya. Aku memeluk kakakku erat. Aku paham perasaan kakakku. Kakak
tersenyum melihatku.
Aku melepas pelukanku. Kemudian membuka tas
sekolahku. Mengambil buku Pink Berry Club; Pelangi Impian, kemudian membacanya.
Aku ingin membiarkan kakakku beristirahat dulu.
“Itu buku apa dek?”
“Eh? Ini…” aku membalik cover-nya sebentar.
“Pelang Impian, PBC. Berkisah tentang seorang anak bernama Fikri yang berasal
dari desa terpencil yang berusaha meraih impiannya bersekolah tinggi dan
menjadi orang sukses, meski harus melalui jalan yang panjang dan halangan yang
berat. Dia tidak pernah berputus asa, sampai akhirnya, dia berhasil meraih
impiannya. Gitu kak..” ceritaku singkat. Kakak mengangguk-angguk.
“Rasanya Fikri mirip dengan kakak, apakah
kakak bisa meraih impian kakak nanti?” tanya kakak sambil tertawa kecil. Aku
tersenyum pasti, mengangguk.
“Kakak pasti bisa. Aku yakin.”
“Makasih dek.”
Aku mengangguk. “Sama-sama.”
“Oh iya, bagaimana sekolah?”
Aku nyengir. Meski sakit kakakku tetap
perhatian.
“Tadi ada ulangan matematika, bangun
datar.”
“ Oh ya? Terus?” tanya kakakku penasaran.
“Aku dapat 95 kak…” lanjutku bangga. Kakak
tersenyum gembira.
“Selamat ya dek, kamu sudah berubah
sekarang, biasanya maksimal dapat 8.”
Aku cemberut. Jadi teringat dulu-dulu.
Disuruh belajar saja maleeesnya bukan main. Pinginnya main komputer terus.
Sekarang? 180° berubah dong. Malah pinginnya belajar terus. Belajar matematika
selesai, gantian Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bosan, ganti IPS. Dst. Dan
ini semua gara-gara kakak. Aku memeluk kakakku lagi, bangga. Kakak nyengir,.
Ah, akhirnya aku bisa melihat kakakku riang kembali.
Tiba-tiba kakak menunduk ke arah kolong
tempat tidur, kemudian mengeluarkan sebuah tas. Dibukanya tas itu pelan,
kemudian mengeluarkan sebuah buku bersampul hijau dengan tulisan besar-besar;
KIMIA.
“Kakak ada tes kimia minggu depan. Siapa
tahu kalau kakak sudah sembuh, kakak bisa ikut ujian itu,” kata kakakku
optimis. Aku tersenyum, mengangguk. Amiin…
Oh iya, aku lupa bilang, kakakku dan aku itu
berbeda lima
tahun. Aku sudah kelas 6, berarti kakakku sudah kelas 1 SMA.
Sambil menemani kakakku menghafal, aku
curi-curi baca PBC-ku kembali. Aih, sudah hampir selesai. Seru juga ternyata!
Kreek… tiba-tiba pintu kamar kakakku
terbuka.
“Adila Salsa Raihana, jam berkunjung anda
sudah selesai, sekarang waktu untuk Rania Muthia As-Shallma beristirahat!”
Ooh.. ternyata itu suster rumah sakit. Aku
segera merapikan tasku, kemudian melambaikan tangan ke arah kakakku.
“Dah, kak. See you tomorrow..”
“ Iya dek. Bye!”
“Assalamualaikum!”
“Waalaikumsallam…”
Krek, aku menutup pintu kamar kakakku. Kemudian
aku melihat jam yang berada di lorong rumah sakit. Jam setengah enam. Wah…aku
sampai rumah jam berapa nih??
--*--
Hari ini tanggal 20 Mei 2010
Berarti hari ini adalah hari…
“KAK RANIA ULANG-TAHUN!”
“Bunda, hari kakak ulang-tahun lo! Kasih
apa nih?!” tanyaku panik. Maklumlah, aku sama-sekali lupa dengan ulang-tahun
kakakku. Kelas enam memang benar-benar sibuk (tepatnya, aku yang suka sok
sibuk)! Sampai lupa tanggal lahir kakak sendiri.
“Ya… kakak kira-kira suka apa. Buku?”
Aku menggeleng. Aku ingin memberikan
hadiah yang lain. Buku yang disukai kakak mahal-mahal, sedangkan aku lagi
bokek.
“Aha! Gimana kalau buku diary? Tapi buku
diary yang berbeda, yang menarik. Aku mau cari di idolmart ah!” cetusku
gembira, kemudian cepat-cepat mengambil sepatu roda, jaket, dompet, dan
jilbabku. Untung saja hari ini libur. Wuuush! Aku langsung ber-wuuush dengan
sepatu roda.
Idolmart berada dekat dengan rumahku. Hanya
berbeda tiga blog dengan rumah! Deket banget kan?
Ting-nong, bunyi pintu Idolmart ketika
dibuka. Aku menuju arah buku-buku. Hmm… banyak buku diary dan buku tulis yang
bagus. Ada buku
diary yang bergambar manga chibi yang imut, dan mempunyai kunci-gembok.
Sisi-sisinya dihiasi glitter dan hiasan mengkilat jika di dalam tempat gelap.
Kunci buku diary-nya imut, berbentuk boneka manga-chibi juga. Hmm.. apa ini
saja ya?
Aku melihat harganya. Hiaa, Rp.25.000,-.
Duitku cuma Rp20.000,-!
Jadi terpaksa aku melihat-lihat buku diary
yang lain. Ya ampun, yang lumayan bagus harganya dua puluh ribu ke atas!
Terpaksa aku muter-muter satu idolmart, sebelum menemukan hadiah yang unik.
Bukan buku diary, tapi seperti pajangan coca-cola-lampu. Di dalamnya terdapat
air yang mirip air coca-cola. Dapat bersinar seperti lampu-kamar. Ada mascot coca-cola
kecil yang mempunyai tangan-kaki, dapat bergerak ke segala arah. Harganya? Pas
20.000,-. Bagus pula! Oke deh, klop. Ini saja.
“Mbak, kalau dibungkuskan sekalian, jadinya
berapa?” tanyaku ketika akan membayar pada mbak kasir. Mbak kasir menunjuk
kertas-kertas kadonya.
“Sesuai pilihannya. Yang ini seribu rupiah,
ini dua ribu rupiah, karena coraknya lebih bagus.”
Aku melihat-lihat sisa uangku. Masih ada lima ribu rupiah.
“Ya sudah, saya sekalian minta dibungkuskan
ya mbak. Coraknya yang itu saja, harganya dua ribu rupiah ya?” tanyaku sambil
menunjuk salah-satu corak kertas kado. Mbak itu mengangguk, kemudian dengan
cekatan membungkus kado itu. Wah, hasilnya bagus juga.
“Terimakasih ya mbak. Jadi.. totalnya
Rp22.000,-?”
“Iya.”
Aku menyerahkan uangnya. Kembalian tiga
ribu rupiah. Kemudian aku segera pulang sambil menenteng kado. Dalam hati aku
berpikir.. ah, aku kasih kadonya besok aja
deh…
--*--
Hari ini hari Minggu. Hari yang paaaling
disukai oleh seluruh pelajar di Indonesia.
Kalau ada yang nggak suka? Orang aneh.
Dan karena hari ini Hari Minggu, aku bisa
puas main komputer dan bangun siang! Hahahaha…. Memang sih, akhir-akhir ini aku
sudah ‘agak’ berubah. Tapi kebiasaan hari Minggu? Suuusaaaahh banget buat
diubah. Hehehe…
KRRIIING! Gubrak! Jam setengah enam pagi!
Tidaaak.. aku telat Sholat Shubuh!
Aku cepat-cepat berwudhu, kemudian Sholat
Shubuh di kamar. Dan… hmm.. pinginnya sih tidur lagi, tapi entah kenapa aku
lagi nggak ada mood.
Karena bosan nggak ada kerjaan, aku memilih
membuka-buka foto album milikku. Ada foto aku dan teman-temanku ketika EFT
(Education Field Trip, acara jalan-jalan edukasi, intinya acara jalan-jalan
untuk belajar), AMT, ketika di rumahku (foto lewat HP), foto aku dan kakakku
yang sedang ‘gila’, dan foto aku, kakakku, dan Raihana, adikku satu-satunya,
sedang joget-joget nggak karuan. Hahaha.. kocak banget. Aku ingat foto ini
dipotret Azzam, sepupuku dari Jakarta.
Saat melihat foto itu, dan menatap wajah kakakku,
aku merasa ada perasaan aneh. Seperti, feeling, atau.. apa ya? Atau ini hanya
perasaan? Kalau bahasanya… perasaan
buruk.
Aku resah,
kemudian melihat foto-foto aku dan kakakku yang lain. Seperti ada…. Aku seperti
melihat bayangan aneh di foto kakakku, dan feeling ini… tidak hilang-hilang.
PRAAAK!
Ya Allah! Suara apa itu? Aku segera
berdiri, kemudian keluar dari kamar. Bunda membungkuk, tampak sedang memunguti
sesuatu. Aku segera mendekati. Penasaran…
“Ma, ada a..”
Aku ternganga. Pigura foto yang terjatuh.
Pigura foto ketika aku dan satu keluargaku rekreasi ke Anyer. Dan foto itu…
Retak tepat
di wajah kakak…
“Ma..
mama.. apa ini.. jangan-jangan…”
Wajah mama tampak pucat. Dia berkali-kali
menggeleng-geleng gelisah, sambil terus memunguti pecahan kaca. Aku masih tidak
percaya, gemetar. Jangan-jangan, pertanda-pertanda aneh ini…
“MA! Kita harus ke rumah sakit ma!
Sekarang juga!!” teriakku panik. Mama masih mematung, sebelum cepat-cepat
berlari ke kamar papa. Aku merasa tidak sadar apa-apa, yang kuingat, aku
membangunkan Raihana, menyuruh Mbok Iyem menjaga rumah dan merapikan pecahan
kaca, tiga puluh menit kemudian, kami berangkat menuju RS. Mitra Keluarga. Aku
seperti melayang. Mengingat kejadian di kamar. Ya Allah.. jangan sampai terjadi
apa-apa dengan kakak. Dia orang baik… kami semua sayang dengannya…
Jam tujuh pagi tepat aku dan keluargaku
sudah sampai di RS. Mitra Keluarga. Perut keroncongan yang belum diisi sarapan
berbunyi. Tapi aku, bunda dan ayah mengabaikannya, termasuk Raihana yang
biasanya paling doyan makan.
Ting! Lift berhenti di lantai dua,
kemudian kami berjalan cepat menuju kamar 205. Aku merasakan firasat itu makin
kuat. Dan… kreek..
Papaku membuka pintu kamar, kakak tidak ada di sana…
“Pa… kakak kemana, pa?!!!” tanya mamaku
histeris. Papa juga bingung, kalut. Tiba-tiba lewat seorang suster di
sampingku.
“Permisi, kalian mencari anak yang memasuki
kamar 205 ini ya?” tanya suster itu. Aku mengangkat alis, bingung. Bagaimana
dia bisa tahu? Ah.. mungkin karena melihat raut wajah mama. Papa mengangguk.
“Iya, sus, kira-kira dia dipindahkan kemana
ya?”
“Mm.. saya kurang tahu juga sih.
Sepengatahuan saya, tadi malam sewaktu saya jaga malam, sekitar jam setengah
5.. eh, itu mah sudah pagi ya? Ada
dua dokter dan empat suster menggiring seorang anak keluar dari kamar 205
menuju ruang UGD.”
BRUK! Tiba-tiba mama lemas. Aku juga lemas.
Muka papa pucat, dan raut wajah Raihana.. ah, sulit dikatakan. Campuran; takut,
kaget, lemas, shok, dsb.
“Kak… nggak mungkin Kak Rania masuk UGD kan?” tanya Raihana
lirih. Aku tidak menjawab. Papa dan mama masih sangat shok, sebelum berjalan
menuju ruang informasi. Papa yang bertanya;
“Permisi, mbak. Apa anak dari ruang 205
dipindahkan ke UGD tadi malam?”
Mbak-mbak ruang informasi itu mengecek
datanya sebentar, sebelum kemudian menatap papa kembali.
“Mm.. iya pak. Anak bapak yang bernama Rania
Muthia As-Shallma dipindahkan ke ruang UGD tadi malam…”
BRUK! Rasanya seperti dijatuhkan dari lantai
20. Sakit, lemas, tidak percaya. Dan tiba-tiba rasanya aku mempunyai kekuatan
untuk berlari, menjerit.
“KAKAK!!”
Aku berbelok dari satu lorong ke satu
lorong. Aneh, aku seperti tahu dimana letak ruang UGD-nya. SRET! Tiba-tiba aku
berhenti di sebuah ruang besar bertuliskan ‘UGD – Unit Gawat Darurat’. Aku
membuka pintunya. Dan aku.. melihat seseorang terkapar, dengan wajah yang sangat aku kenali..
“Ka… ka. Kakak…” lirihku hancur.
Dokter-dokter terkaget melihatku, dan kaget lagi melihat mama-papa, dan Raihana
yang berlari menyusulku, dan mereka sekarang berada di sampingku. Tubuh mama
bergetar, tapi dia berusaha menahan tangisnya. Raihana menangis tersedu-sedu.
Papa memeluk mama, aku memeluk Raihana, meski mataku… hatiku… melihat kakak…
“Permisi, biar saya jelaskan semuanya…”
tiba-tiba dokter yang paling senior mendekatiku, mama-papa, dan Raihana.
Mengajak kami keluar, dan duduk di sebuah kursi panjang.
“Ibu.. maafkan rumah sakit yang belum
memberitahu ibu, karena situasi yang amat gawat. Anak ibu dropp tiba-tiba malam
tadi, jam setengah lima,
dan sampai-sekarang anak ibu masih koma. Ibu dan keluarga harap bersabar, dan
bersiap dengan segala situasi paling buruk yang akan diterima nanti…”
Situasi paling buruk? Ya Allah…
“ Nak, tetaplah berdoa untuk kakakmu…
karena kakakmu sedang berjuang…” lirih dokter itu sambil menatapku, tersenyum.
Tanpa aku sadari, satu bulir air mata sudah jatuh di pipiku. Aku berusaha
mengangguk, tapi leherku kaku.
“Aku.. aku ingin melihat kakak…” pintaku
tersedu. Dokter itu menghembuskan nafas, kemudian mengangguk, membolehkan. Aku
dan keluargaku berjalan ke dalam UGD. Kakakku, kakakku yang dikelilingi infus
dan terkapar di tempat-tidur UGD. Ya Allah… kakakku yang amat tegar sekarang terlihat
rapuh, dan wajahnya.. amat tenang.
Aku mendekati kakakku, memegang tangannya,
“Kak…” aku berjongkok di samping tempat
tidurnya. Suster-suster berjalan agak ke pinggir, untuk memberikan ruang, meski
tetap terlihat siaga. Mama, papa, dan Raihana agak di belakangku, mereka tahu,
aku ingin bicara berdua dengan kakak, meski entah kakakku akan mendengar atau
tidak di alamnya…
“Kakak.. kakak pernah memberitahukan ku kan.. supaya tidak
pernah menyerah, tegar, selalu mencoba hal-hal yang positive…” aku mengusap
mataku, lagi. “Kakak selalu mengajariku untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan
pendidikan, kakak selalu berjuang, bahkan ketika kakak sakit… dan.. kak…..
kakak tahu.. nilai-nilai di sekolahku meningkat sejak kakak memberitahuku itu…
karena kakak…” kini aku sempurna menangis. Tersendat-sendat. “Kakak…. Kakak
selalu mengingatkanku untuk tidak pantang menyerah, dan aku berusaha untuk
menuruti perintah kakak. Dan sekarang… giliran
kakak…”
“Kakak harus sembuh… kakak harus
bisa ceria seperti dulu. Kakak tahu, aku tetap mengagumi kakak meski kakak
sudah terkena leukemia.. Kak.. kakak harus berjuang… kakak harus sembuh
kembali… Hikss…” aku mengusap air-mataku yang sudah membasahi kasur.
“Kak.. kakak tahu lagu D’masiv nggak?
Yang judulnya jangan menyerah.. lagu itu populer di sekolahku kak… kakak.. akan
kunyanyikan lagu itu untuk kakak…”
Aku menghembuskan nafas sebentar,
mengusap air-mataku kembali, dan mengatur suara agar tidak cempreng dan
tersendat-sendat. Aku ingin, meski aku tidak tahu apakah kakak mendengarnya,
mempersembahkan yang terbaik untuk kakakku…
D’Masiv… Jangan Menyerah
“tak ada manusia
yang terlahir sempurna
jangan kau sesali
segala yang telah terjadi
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
kita pasti pernah
dapatkan cobaan yang berat
seakan hidup ini
tak ada artinya lagi
yang terlahir sempurna
jangan kau sesali
segala yang telah terjadi
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
kita pasti pernah
dapatkan cobaan yang berat
seakan hidup ini
tak ada artinya lagi
reff1:
syukuri apa yang ada
hidup adalah anugerah
tetap jalani hidup ini
melakukan yang terbaik
syukuri apa yang ada
hidup adalah anugerah
tetap jalani hidup ini
melakukan yang terbaik
tak ada manusia
yang terlahir sempurna
jangan kau sesali
segala yang telah terjadi
yang terlahir sempurna
jangan kau sesali
segala yang telah terjadi
reff2:
Tuhan pasti kan menunjukkan
kebesaran dan kuasanya
bagi hambanya yang sabar
dan tak kenal putus asa”
Tuhan pasti kan menunjukkan
kebesaran dan kuasanya
bagi hambanya yang sabar
dan tak kenal putus asa”
Selesai menyanyikan lagu itu, aku
menatap kakakku sebentar. Dan… Ya Allah.. ini benar-benar keajaibanmu! Kakakku
tersenyum, dan keluar air mata yang membasahi pipinya. Ya Allah… kakakku
mendengar semuanya, di alam-bawah sadarnya!
“Kak… kakak dengar semuanya??!”
tanyaku gembira, dadaku hampir meledak saking senangnya. Keluargaku mendekat,
dokter-dokter ternganga, mengusap wajah mereka, kaget, terpana.
Dan kejaiban itu belum selesai.
Tiba-tiba mata kakakku
berkerjap-kerjap, dan…. aku hampir pingsan saking senangnya… kakakku bangun!
Kakakku sadar!
“KAK! Kakak sudah sadar???!” tanyaku
gembira. Mencubit pipiku sendiri. Keluargaku meringsek ke depan. Raihana
menjerit senang, berusaha memeluk kakakku, kalau tidak ingat kakakku dalam
keadaan lemah. Mama berkali-kali mengucapkan hamdallah, sedangkan papa
menghembuskan nafas lega. Dokter-dokter saling berpandangan. Bingung. Hanya
karena lagu… dan ucapan kasih-sayang adiknya… anak itu bisa terbangun?
Kakak menatapku, tersenyum. Mengusap
pipiku dan Raihana.
“Kalian berdua, terimakasih. Mama, papa,
terimakasih atas segalanya. Fia… terimakasih atas lagu dan kasih sayangmu….
Maafkan segala salah kakak. Dek Raihana, maafkan kakak juga kalau kakak ada
salah denganmu. Mama.. papa.. terimakasih sudah mau membesarkanku… aku minta
maaf.. kalau aku ada salah… tolong titip maaf dan terimakasihku untuk semua
teman-temanku…”
Kami berempat berpandang-pandangan.
Bingung.
“Kak??”
“ Ah… mama.. lihat! Bidadari itu sudah
melambai ke arahku… aku harus kembali… ke tempat itu..”
“KAK? Kamu mau kemana?!”
“Maafkan semua salahku, ma, pa, Fia, Dek
Raihana… I love you…”
Dan mata itu kembali tertutup.
Dokter-dokter kembali mendekat. Mengecek
jantung, nadi..
Tapi kakakku… sudah tidak ada.
--*--
Minggu, 21 November 2010
Pukul 12.00 WIB
Suasana rumah penuh dengan
pelayat-pelayat yang berdatangan. Mamaku tersendat-sendat menceritakan
semuanya, sambil sibuk ditenangi oleh tanteku dan nenekku. Raihana mengunci
diri di kamar, perlahan-lahan terdengar suara tangisannya. Ayah menyambut
pelayat yang berdatangan dengan wajah muram. Bik Iyem berusaha untuk
konsentrasi memasak, tapi dia berkali-kali melihat ke arah kakakku yang
terbujur kaku di kamarnya yang dibuka untuk pelayat-pelayat. Kakakku ditaruh
sementara di kamarnya sebelum menuju liang-lahat. Ah, kakakku itu.. sudah pergi…
Aku sendiri sama dengan Raihana. Pulang
dari rumah sakit, aku menangis hebat. Makan pagi tidak disentuh. Apalagi saat
melihat mayat kakakku, rasanya aku ingin pingsan. Ya Allah… aku tidak kuat. Kenapa
harus kakakku yang pergi? Kenapa tidak… aku saja misalnya?! Kenapa harus
kakakku yang paling pertama pergi? Kenapa harus dia?!!
“Fia…”
Aku berpaling. Tante Salwa, tanteku yang
paling dekat. Aku memalingkan muka, aku tidak ingin bertemu siapa-siapa.
“Fia, tante tahu, berat sekali pasti
kehilangan kakakmu… kakak yang paling baik hati di dunia.”
Aku tidak merespon, meski dalam hati
membenarkan. Kakakku memang keterlaluan baiknya.
“Tapi bukan berarti kau harus seharian
mengunci diri di kamar, Fia..”
Seketika aku menengok, BERANG!
“Tante belum pernah kehilangan kakak tante, tante nggak tahu
perasaanku!!!!” jeritku marah. Tante terdiam, aku memalingkan muka lagi.
“Tante tahu… karena tante… juga pernah
kehilangan orang yang paling berharga untuk tante ketika seumuran dirimu…”
Aku berpaling ke arah tante. Terheran,
menunjukkan raut muka;
S-i-a-p-a?
Tante tersenyum getir.
“Sahabat tante sejak TK, yang selisih
umur setahun. Tante dan dia erat sekali persahabatannya, hingga bahkan, orang
tua tante—kakek dan nenekmu—menganggap sahabat tante itu sebagai kakak kandung
tante, saking eratnya persahabatan itu. Sahabat tante itu selalu membantu dan
menyemangati tante… tante bahagia sekali bersahabat dengannya.
“Tapi pada suatu hari… malapetaka itu
datang..
“Sahabat tante divonis terkena kanker
otak ganas, dan hanya dapat bertahan beberapa hari…
“Mirisnya, sahabat tante itu tidak
mengatakan atau memberitahu apapun tentang penyakitnya kepada tante… dia tetap
datang ke rumah tante untuk bermain, belajar bersama, bahkan ketika
pertandingan terakhirnya!
“Sahabat tante itu menemui ajalnya
ketika memaksakan diri mengikuti pertandingan itu… regu sekolah kami menang,
tapi tiba-tiba dia ambruk, dan dilarikan ke rumah sakit. Barulah tante tahu,
ternyata sahabat tante itu menderita kanker otak-ganas, dan hanya bisa bertahan
beberapa hari sebelum meninggal. Dan saat-saat sakaratul mautnya, sahabat tante
itu berkata dengan terbata-bata bahwa dia tidak ingin merepotkan tante, meski
tante tahu, seumur hidupnya dia tidak
pernah merepotkan orang lain…
“Pertama-tama tante marah, sedih,
campur aduk. Tapi… setelah beberapa hari, tante sadar. Dia sudah berada di
tempat terbaiknya… tempat yang tidak akan membuatnya menderita terkena kanker
otak ganas. Yang akan membuatnya bahagia selamanya…
“Sayang… kakakmu untukmu, dan sahabat
tante untuk tante, sama pentingnya untuk kita berdua.. mereka menempati ruang
khusus di hati. erat memang melepaskan, tapi apakah kita harus bersedih ketika
mereka justru akan mengalami kebahagiaan sejati??
“Sayang… kakakmu adalah orang yang
sangat baik, dan sifat-sifatnya mengingatkan tante akan sahabat tante itu…tante
yakin Allah telah menyiapkan tempat terbaik untuknya. Dan.. Allah memanggil
kakakmu karena Allah sangat-amat sayang terhadap kakakmu, dan tidak ingin
kakakmu menderita lagi… kau mengerti, Fia?’
Aku terpana, mendengar nasehat tante
yang luar biasa panjang, tepatnya cerita tanteku. Aku menghapus air-mataku. Ya,
aku baru sadar, sedih memang wajar, amat wajar, apalagi jika itu orang yang
amat penting untuk kita… tapi sesayang apapun kita, kita pasti harus
melaksanakan perpisahan, dan kita semua harus siap untuk itu. Kita tidak boleh
bersedih, ketika orang itu akan memasuki tempat terbaiknya… justru kita harus
mendoakannya, dan mendoakan diri kita supaya dapat masuk ke tempat terbaik itu…
dan bisa bersama-sama kembali…
Aku memeluk tanteku.
“Terimakasih, tante…” ucapku lirih. Tante
mengangguk.
“Sekarang, pergi ke kamar mandi dan cuci
mukamu, Fi. Matamu benar-benar merah dan masih ada kotoran matanya tuh!
Hehehe…”
Aku tersenyum sedikit.
“Oke. Tapi kayaknya Raihana juga perlu
nasehat tante.”
Tante balas tersenyum, kemudian keluar
kamar.
“Oke deh, tapi cepat cuci muka, kemudian
makan ya! Kata mamamu, kamu belum makan pagi, apalagi sekarang sudah jam 12!
Jangan lupa sekalian mandi!”
Aku geleng-geleng kepala, kemudian
berlagak ‘siap gerak’, dan ngacir ke kamar mandi. Hehehe… Tante Salwa itu
ternyata cerewet juga ya!
--*--
Jam 13.00 siang
Jl. Pedepokan 5 No. 66, Jakarta Timur
~My House~
Aku dan keluargaku, serta seluruh pelayat
sudah siap untuk sesi pemakaman kakakku. Aku memakai jilbab putih dan baju
gamis biru. Mama dan papaku tidak mengenakan baju hitam, karena kata mereka itu
hanya adapt-istiadat orang Barat, bukan adat orang Islam. Raihana sendiri
memakai baju lengan panjang hijau dan jilbab crème. Kami semua berangkat dengan
mobil menuju tempat peristirahatan terakhir kakakku, di TPU Pondokrangon.
Perjalanan memakan waktu setengah jam.
Aku,keluargaku, dan mobil pelayat-pelayat lain berhenti di parkiran TPU, dan
berjalan menuju tenda besar yang dipasang di tengah-tengah kuburan. Di sanalah
liang-lahat kakakku sudah dipersiapkan.
“La
illa ha illallah… La illa ha illallah… La illa ha illallah!”
Perlahan-lahan mayat kakakku diturunkan
ke dalam liang-lahat. Aku tidak kuasa melihatnya, apalagi ketika melihat tubuh
kakakku dikubur oleh tanah. Ya Allah… miriiis sekali melihatnya. Ingin rasanya
menggali kuburan itu dan mengeluarkan tubuh kakakku, tapi itu tak mungkin.
Aku mengusap nisan kuburan kakakku,
menangis, tersedu. Mamaku memelukku. Tante Salwa mengelus kepalaku. Menatapku,
yang berusaha membuatku tabah. Di nisan itu tertulis;
Rania
Muthia As-Shallma
Lahir: 20 November
1995
Wafat: 21
November 2010
Innalillahi
wa innalillahi rojiun…
Aku tersedan,
menangis. Ranting-ranting bunga kamboja bergesekan, hembusan angin seolah
menghibur seluruh pelayat, awan mendung menghiasi langit, seakan turut
bersedih.
Goodbye, my
lovely sister…
Gooodbye.. I
- Love- You…
--*--